Banyak harta karun yang bertebaran di wilayah Indonesia
Banyak harta karun yang bertebaran di wilayah Indonesia, baik di daratan
terlebih lagi di lautan. Sebelum Bangsa Eropa menguasai wilayah
Nusantara abad ke 15, Indonesia merupakan daerah perdagangan yang ramai.
Menghubungkan perdagangan India, Timur Tengah, Cina dan orang-orang
Eropa.
Dalam masa itu tak terhitung kapal yang hilang dan karam di perairan
Nusantara. Dalam beberapa catatan ratusan kapal Cina pengangkut harta
dan keramik berharga hilang, 800 kapal Portugis hilang sejak 1650 dalam
perjalanan ke Atlantik Selatan dan Asia Tenggara, lebih dari 7.000
hilang dalam catatan English East India Company (EIC) dan 105 kapal VOC
Belanda hilang dalam pelayaran antara 1602-1794, kesemua kapal tersebut
bermuatan barang-barang berharga.
Berbagai peninggalan tersebut sudah banyak ditemukan. Setelah terjadinya
Tsunami Aceh, beberapa titik di perairan Mentawai Sumatera ditemukan
harta karun dari kapal Cina dan kapal dagang VOC yang karam.
Harta karun senilai Rp. 720 Miliar berupa 250.000 benda keramik,
Kristal, permata dan emas ditemukan di perairan Cirebon, Jawa Barat
tahun 2005 oleh eksplorasi pihak asing . Namun barang tersebut akhirnya
dilego pada kolektor di Singapura.
Di Pulau Onrust daerah Teluk Jakarta diindikasikan terdapat penyimpanan
harta karun VOC Belanda. Hal ini berdasar keganjilan sejarah tentang VOC
yang bangkrut secara mendadak , karena merupakan institusi dagang
Belanda yang besar dan telah lama mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Konon jumlah harta di Pulau Onrust bisa untuk melunasi Utang Indonesia.
Harta Karun yang tak kalah banyak adalah peninggalan Kerajaan-Kerajaan
Nusantara. Dari kerajaan di Jawa seperti Singosari, Majapahit, Mataram,
Pajajaran hingga Kerajaan di Sumatera , Kalimantan dan Daerah timur
Indonesia menyimpan banyak sekali peninggalan harta karun. Menurut mitos
harta karun tersebut tersimpan di alam gaib, tak bisa ditemukan dengan
mudah. Harta-harta tersebut akan dapat ditemuka oleh “orang yang
terpilih.” Telah banyak peninggalan dari kerajaan berupa perhiasan dan
perlengkapan istana yang diketemukan tak sengaja, melalui penelitian
ataupun orang yang memperoleh wangsit (petunjuk gaib).
Banyaknya harta yang terpendam di perairan dan daratan Nusantara selama
ini belum dikelola baik oleh Pemerintah Indonesia, sayangnya lagi hal
itu justru banyak menjadi incaran arkeolog dan pemburu harta karun untuk
tujuan komersil pribadi.
Peninggalan Dana Revolusi Era Soekarno
Pada tahun 1906 terjadilah ikrar raja-raja nusantara yang di prakasai
oleh Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan
nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, Soetomo, Raden Adipati
Tirtokoesoemo, (presiden pertama Budi Utomo), Pangeran Ario Noto Dirodjo
dari Keraton Pakualaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dan Raden
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam ikrar tersebut ditumbuhkannya rasa
nasionalisme “tanah air (Indonesia) diatas segala-galanya”.
Pada saat itu seluruh raja-raja nusantara menyumbangkan sebagian asset
mereka untuk membantu perjuangan. (Dana Perjuangan). Sebagian dana itu
dipakai untuk biaya perjuangan dan sebagian lagi disimpan di luar
negeri.
Dana perjuangan lebih dikenal dengan Dana Revolusi / Dana Amanah mulai
dihimpun lagi pada masa setelah kemerdekaan, dana revolusi yang dihimpun
berdasar perpu no.19 tahun 1960.
Isinya antara lain, mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan lima
persen dari keuntungannya pada pemerintah bagi Dana Revolusi. Yang
disebut perusahaan negara itu, termasuk pula berbagai perusahaan Belanda
yang baru dinasionalisasikan, seperti perkebunan-perkebunan besar.
Konon berjumlah ratusan juta dolar tersimpan di luar negeri.
Salah satu sumber Dana Revolusi terbesar adalah adanya Perjanjian The
Green Hilton Memorial Agreement Geneva dibuat dan ditandatangani pada 21
November 1963 di hotel Hilton Geneva oleh Presiden AS John F Kennedy
dan Presiden RI Ir Soekarno dengan saksi tokoh negara Swiss William
Vouker. Perjanjian ini menyusul MoU diantara RI dan AS tiga tahun
sebelumnya. Point penting perjanjian itu; Pemerintahan AS (selaku pihak
I) mengakui 50 persen keberadaan emas murni batangan milik RI, yaitu
sebanyak 57.150 ton dalam kemasan 17 paket emas dan pemerintah RI
(selaku pihak II) menerima batangan emas itu dalam bentuk biaya sewa
penggunaan kolateral dolar yang diperuntukkan pembangunan keuangan AS.
Dalam point penting lain pada dokumen perjanjian itu, tercantum klausul
yang memuat perincian ; atas penggunaan kolateral tersebut pemerintah AS
harus membayar fee 2,5 persen setiap tahunnya sebagai biaya sewa kepada
Indonesia, mulai berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965 (dua tahun
setelah perjanjian). Account khusus akan dibuat untuk menampung asset
pencairan fee tersebut. Maksudnya, walau point dalam perjanjian tersebut
tanpa mencantumkan klausul pengembalian harta, namun ada butir
pengakuan status koloteral tersebut yang bersifat sewa (leasing). Biaya
yang ditetapkan dalam dalam perjanjian itu sebesar 2,5 persen setiap
tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya.
Biaya pembayaran sewa kolateral yang 2,5 persen ini dibayarkan pada
sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation (The HEF) yang
pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas restu
Sri Paus Vatikan. Sedang pelaksanaan operasionalnya dilakukan
Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). Kesepakatan
ini berlaku dalam dua tahun ke depan sejak ditandatanganinya perjanjian
tersebut, yakni pada 21 November 1965.
Sepenggal kalimat penting dalam perjanjian tersebut => ”Considering
this statement, which was written andsigned in Novemver, 21th 1963 while
the new certificate was valid in 1965 all the ownership, then the
following total volumes were justobtained.” Perjanjian hitam di atas
putih itu berkepala surat lambing Garuda bertinta emas di bagian atasnya
dan berstempel ’The President of The United State of America’ dan
’Switzerland of Suisse’.
Berbagai otoritas moneter maupun kaum Monetarist, menilai perjanjian itu
sebagai fondasi kolateral ekonomi perbankan dunia hingga kini. Ada
pandangan khusus para ekonom, AS dapat menjadi negara kaya karena
dijamin hartanya ’rakyat Indonesia’, yakni 57.150 ton emas murni milik
para raja di Nusantara ini.
Pandangan ini melahirkan opini kalau negara AS memang berutang banyak
pada Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah AS dan bukan
punya negara Indonesia, melainkan harta raja-rajanya bangsa Indonesia.
Bagi bangsa AS sendiri, perjanjian The Green Hilton Agreement merupakan
perjanjian paling tolol yang dilakukan pemerintah AS. Karena dalam
perjanjian itu AS mengakui asset emas bangsa Indonesia. Sejarah ini
berawal ketika 350 tahun Belanda menguasai Jawa dan sebagian besar
Indonesia. Ketika itu para raja dan kalangan bangsawan, khususnya yang
pro atau ’tunduk’ kepada Belanda lebih suka menyimpan harta kekayaannya
dalam bentuk batangan emas di bank sentral milik kerajaan Belanda di
Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia).
Namun secara diam-diam para bankir The Javasche Bank (atas instruksi
pemerintahnya) memboyong seluruh batangan emas milik para nasabahnya
(para raja-raja dan bangsawan Nusantara) ke negerinya di Netherlands
sana dengan dalih keamanannya akan lebih terjaga kalau disimpan di pusat
kerajaan Belanda saat para nasabah mempertanyakan hal itu setelah
belakangan hari ketahuan.
Waktu terus berjalan, lalu meletuslah Perang Dunia II di front Eropa,
dimana kala itu wilayah kerajaan Belanda dicaplok pasukan Nazi Jerman.
Militer Hitler dan pasukan SS Nazi-nya memboyong seluruh harta kekayaan
Belanda ke Jerman. Sialnya, semua harta simpanan para raja di Nusantara
yang tersimpan di bank sentral Belanda ikut digondol ke Jerman.
Perang Dunia II front Eropa berakhir dengan kekalahan Jerman di tangan
pasukan Sekutu yang dipimpin AS. Oleh pasukan AS segenap harta jarahan
SS Nazi pimpinan Adolf Hitler diangkut semua ke daratan AS, tanpa
terkecuali harta milik raja-raja dan bangsawan di Nusantara yang
sebelumnya disimpan pada bank sentral Belanda. Maka dengan modal harta
tersebut, Amerika kembali membangun The Federal Reserve Bank (FED) yang
hampir bangkrut karena dampak Perang Dunia II, oleh ’pemerintahnya’ The
FED ditargetkan menjadi ujung tombak sistem kapitalisme AS dalam
menguasai ekonomi dunia.
Belakangan kabar ’penjarahan’ emas batangan oleh pasukan AS untuk modal
membangun kembali ekonomi AS yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II
itu didengar pula oleh Ir Soekarno selaku Presiden I RI yang langsung
meresponnya lewat jalur rahasia diplomatic untuk memperoleh kembali
harta karun itu dengan mengutus Dr Subandrio, Chaerul saleh dan Yusuf
Muda Dalam walaupun peluang mendapatkan kembali hak sebagai pemilik
harta tersebut sangat kecil. Pihak AS dan beberapa negara Sekutu saat
itu selalu berdalih kalau Perang Dunia masuk dalam kategori Force Majeur
yang artinya tidak ada kewajiban pengembalian harta tersebut oleh pihak
pemenang perang.
Namun dengan kekuatan diplomasi Bung Karno akhirnya berhasil meyakinkan
para petinggi AS dan Eropa kalau asset harta kekayaan yang diakuisisi
Sekutu berasal dari Indonesia dan milik Rakyat Indonesia. Bung Karno
menyodorkan fakta-fakta yang memastikan para ahli waris dari nasabah The
Javache Bank selaku pemilik harta tersebut masih hidup !!
Nah, salah satu klausul dalam perjanjian The Green Hilton Agreement
tersebut adalah membagi separoh separoh (50% & 50%) antara RI dan
AS-Sekutu dengan ’bonus belakangan’ satelit Palapa dibagi gratis oleh AS
kepada RI. Artinya, 50 persen (52.150 ton emas murni) dijadikan
kolateral untuk membangun ekonomi AS dan beberapa negara eropa yang baru
luluh lantak dihajar Nazi Jerman, sedang 50 persen lagi dijadikan
sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun
untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41
tahun dengan biaya sewa per tahun sebesar 2,5 persen yang harus
dibayarkan kepada RI melalui Ir.Soekarno. Kenapa hanya 2,5 persen ?
Karena Bun Karno ingin menerapkan aturan zakat dalam Islam.
Pembayaran biaya sewa yang 2,5 persen itu harus dibayarkan pada sebuah
account khusus a/n The Heritage Foundation (The HEF) dengan
instrumentnya adalah lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World
Bank, The FED dan The Bank International of Sattlement/BIS). Kalau
dihitung sejak 21 November 1965, maka jatuh tempo pembayaran biaya sewa
yang harus dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006. Berapa besarnya ?
102,5 persen dari nilai pokok yang banyaknya 57.150 ton emas murni +
1.428,75 ton emas murni = 58.578,75 ton emas murni yang harus dibayarkan
para pengguna dana kolateral milik bangsa Indonesia ini.
Padahal, terhitung pada 21 November 2010, dana yang tertampung dalam The
Heritage Foundation (The HEF) sudah tidak terhitung nilainya. Jika
biaya sewa 2.5 per tahun ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya
57.150 ton, maka selama 45 tahun X 2,5 persen = 112,5 persen atau lebih
dari nilai pokok yang 57.150 ton emas itu, yaitu 64.293,75 ton emas
murni yang harus dibayarkan pemerintah AS kepada RI. Jika harga 1 troy
once emas (31,105 gram emas ) saat ini sekitar 1.500 dolar AS, berapa
nilai sewa kolateral emas sebanyak itu ?? Hitung sendiri aja !!
Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan
dunia manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk
lembaga pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia. Makanya, selain
negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF
ini, banyak taipan kelas dunia maupun ’penjahat ekonomi’ kelas paus dan
hiu yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar
dari pajak. Tercatat orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald
Trump, Adnan Kasogi, Raja Yordania, Putra Mahkota Saudi Arabia,
bangsawan Turko dan Maroko adalah termasuk orang-orang yang menitipkan
kekayaannya pada rekening khusus tersebut.
Pada masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati telah diadakan suatu
operasi untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia. Bahkan para
bankir hitam kelas dunia, CIA dan MOSSAD (agen rahasia Israel) berusaha
keras untuk mendapatkan user account dan PIN The HEF tersebut, termasuk
mencari tahu siapa yang diberi mandat Ir Soekarno terhadap account
khusus itu. Namun usaha puhak-pihak yang mencoba mendapatkan harta
tersebut belum menghasilkan, Ir Soekarno atau Bung Karno tidak pernah
memberikan mandat kepada siapa pun. artinya pemilik harta rakyat
Indonesia itu tunggal, yakni Bung Karno sendiri.