Halaman

Senin, 03 Maret 2014

Misteri Harta Karun Rampasan Jepang di Indonesia

Timbunan emas Jenderal dari Jepang, Tomoyuki Yamashita, saat perang dunia II masih diburu banyak pihak. Timbunan emas itu disebut-sebut sebagai salah satu harta karun terbesar di dunia.

Ada organisasi khusus bernama Kin No Yuri atau Bunga Lili Emas. Saudara Kaisar Hirohito, Pangeran Yasuhito, dipercaya jadi ketua. Mereka merampas emas dari Asia Tenggara kemudian mengumpulkannya di Filipina, baru dikapalkan ke Jepang.

Sudah beberapa kali pengiriman emas dan barang berharga ke Jepang ini berhasil. Dari emas rampasan inilah Jepang membiayai peperangan di Pasifik. Sebuah front pertempuran yang membentang luas dari Manchuria hingga Kepulauan Solomon. Tentunya ini menguras biaya luar biasa besar.


Tomoyuki Yamashita, 1945 (wikimedia.org)

Namun sejak tahun 1943, harta rampasan tak bisa dikirim ke Jepang. Penyebabnya, armada Jepang sudah kalah di lautan.

Mereka tak punya lagi cukup kapal perang atau pesawat tempur guna mengawal kapal-kapal emas tersebut ke Jepang.

Pesawat tempur sekutu dan kapal selamnya siap mengkaramkan kapal Jepang yang lewat.

Sekitar tahun 1945, Jepang sudah nyaris kalah total. Pangeran Yasuhito, Jenderal Yamashita dan beberapa pejabat lain meledakkan terowongan dan gua untuk menutup timbunan emas dalam gua-gua di bawah tanah.

Diperkirakan ada sekitar 6.000 ton emas yang telah dirampas tentara Jepang di kawasan Asia Tenggara dan beberapa negara disekitarnya saat Perang Dunia II tersebut.

Banyak yang percaya harta tersebut tersebar di beberapa negara Asia Tenggara dan tak sempat dibawa ke Jepang.

Mulai dari tentara, pemburu harta karun, hingga presiden, mereka semua berebut untuk mendapatkan emas seberat ribuan ton yang telah dijarah pasukan Jepang dari negara-negara di Asia Tenggara saat Perang Dunia II.

Rogelio Roxas adalah seorang tentara Filipina. Tahun 1960an, dia bertemu seorang yang mengaku bekas penerjemah Jenderal Yamashita saat perang dunia II.

Roxas pun memulai perburuannya. Dia menggali di kawasan Baguio City. Dia menemukan lorong-lorong bekas persembunyian tentara Jepang yang sudah dihancurkan.

Rogelio Roxas mengklaim pernah menemukan patung budha dari berlian dan emas murni dari terowongan Jepang di Filipina. Dia menduga penemuan ini baru sebagian kecil dari Emas Yamashita.

Tahun 1971, Roxas mengaku menemukan sebuah patung budha dari emas. Tingginya hanya sekitar 1 meter, namun sangat berat. Roxas juga menemukan peti berisi batangan emas.


Tak cuma itu, Roxas kemudian menemukan dalam patung Budha itu ada beberapa butir berlian mentah. Dia yakin inilah sebagian kecil dari harta karun Yamashita. Beberapa pembeli telah menaksir harta karun tersebut.

Mereka meyakini barang-barang itu emas dengan kadar di atas 20 karat. Namun kabar ini sampai juga ke telinga Presiden Filipina saat itu, Ferdinand Marcos, sang diktator Filipina.

Lalu tersebar kabar bahwa Roxas menuding Marcos mengirim para pengawal kepresidenan untuk menangkap dirinya.

Kemudian, Marcos juga sempat menyita patung Budha dan emas batangan milik Roxas yang telah ditemukannya, hingga akhirnya Roxas pun dipenjara hingga beberapa tahun lamanya.

Tahun 1986, Marcos dilengserkan. Dia dan istrinya, Imelda Marcos lari ke Hawaii. Tahun 1988, Roxas menggugat Marcos di Pengadilan Hawaii.


Dia menuding Marcos telah melanggar HAM dan merampas harta karun yang telah ditemukannya.

Pada malam jelang persidangan, Roxas tewas. Kematiannya jadi polemik. Namun Roxas sempat merekam kesaksiannya dalam bentuk video. Persidangan Kubu Roxas VS Marcos ini berjalan sengit. Sembilan kali naik banding!

Hingga akhirnya pengadilan memutuskan Keluarga Marcos harus membayar ganti rugi pada Roxas. Jumlahnya, USD 6 juta untuk pelanggaran HAM dan sekitar USD 13 juta untuk ganti rugi harta karun yang dirampas.

Sedangkan Jenderal Tomoyuki Yamashita dieksekuti mati pada 3 Februari 1946 oleh pengadilan militer Amerika Serikat di Filipina. Dia digantung dengan tuduhan melakukan kejahatan perang selama perang Dunia II.

Quote:
Banyak versi yang menyatakan emas ini akhirnya dibagi oleh kekaisaran Jepang dengan Intelijen militer Amerika Serikat. Emas inilah yang digunakan AS untuk operasi intelijen selama perang dingin menghadapi Uni Soviet dan Blok Timur.

Sementara Jepang menggunakan emas bagiannya untuk membangun perekonomiannya yang morat-marit usai perang. Alasan penguatnya, bagaimana Jepang bisa membangun perekonomian setelah perang, tanpa suntikan modal yang luar biasa besar?

Ada versi lain, emas ini sudah dikuasai oleh rezim Ferdinand Marcos yang menguasai Filipina dari tahun 1965-1986. Diktator yang punya rekening luar biasa gendut ini adalah mantan tentara Filipina saat perang Dunia II.

Kekayaannya tersebar di beberapa bank di Eropa. Dia mengaku kaya bukan karena korupsi tapi karena harta karun.

Jenderal Tomoyuki Yamashita digelari Harimau Malaya.

Di awal Perang Dunia II Yamashita dengan mudah merebut Singapura yang dipertahankan pasukan gabungan Inggris dan sekutu.

Kurang lebih sebanyak 30.000 Tentara Jepang berhasil menawan 130.000 tentara Inggris, India dan Australia.

Sepanjang sejarah, inilah rekor terbanyak tentara Inggris menyerah.

Namun menurut Profesor Rico Jose, seorang peneliti dari Universitas Filipina mempertanyakan soal harta karun Yamashita ini. Jose menilai Emas Yamashita yang banyak di Filipina hanya mitos.

“Tahun 1943 Jepang tak lagi menguasai lautan. Kecil kemungkinan emas ini dibawa ke Filipina,” kata Jose kepada media Filipina.

Tapi analisa Jose tak menyurutkan niat para pencari harta karun. Jika tak di Filipina, maka tentu ceceran emas rampasan Jepang ini masih ada di negara-negara lain. Termasuk Indonesia. Adakah yang masih tersisa?




Default

Harta Karun Rampasan Jepang di Indonesia

Quote:
Tak cuma para pemburu harta karun yang mencoba memburu harta karun peninggalan Jepang. Pasukan elite Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ternyata pernah juga diberi perintah melacak karun Jepang. Sebut saja Nadi, adalah salah seorang pensiunan korps baret merah mengisahkan peristiwa tersebut.

Suatu hari di tahun 1967, beberapa buah truk dan sebuah jip meninggalkan markas RPKAD di Cijantung, Jakarta Timur. Mereka bergerak ke arah selatan menuju pantai terpencil di Sukabumi, Jawa Barat.


Ada sekitar 30 orang personel yang dikerahkan. Tim ini dipimpin seorang perwira menengah.

“Kalau tidak salah, sekitar tahun 1967. Saya ingat di beberapa tempat masih lihat orang-orang PKI yang ditahan tentara,” kata Nadi.

Nadi saat itu menjadi juru radio. Pangkatnya sersan. Dia awalnya tak tahu menahu bagaimana RPKAD bisa dikerahkan memburu harta karun.

“Namanya prajurit ya turut perintah saja. Pas ngobrol-ngobrol baru tahu ternyata ada orang menghadap ke Mabes AD”, kata Nadi.

“Dia bilang tahu lokasi persembunyian emas tentara Jepang. Dari Mabes AD perintah turun ke Cijantung (Markas RPKAD), kurang lebih seperti itu,” tambah Nadi.

Pria yang melapor ke Mabes AD dan mengaku tahu soal harta karun itu ikut dalam rombongan. Dia dapat tempat terhormat naik jip di sebelah komandan. Konvoi menuju sebuah bekas pertahanan tentara Jepang.

Masih tersisa beton bercampur lempeng baja, namun kondisinya sudah sangat tak terawat. Lokasinya di pantai, rupanya sebagai pertahanan Jepang jika ada serangan dari laut.

Tim RPKAD mulai bekerja. Pertama benteng Jepang itu diledakkan. Nadi ingat bumi bergetar akibat banyaknya bahan peledak yang dipakai. Setelah terbuka, tim mulai menyisir kubu pertahanan Jepang.

Hari pertama tak ditemukan apa-apa. Begitu juga hari-hari berikutnya.

Setelah seminggu orang yang mengaku tahu harta karun itu bilang harus ada selamatan karena penunggu benteng marah.


“Kami tak percaya tapi dia memaksa. Akhirnya kambing hitam dipotong, dibuat selamatan,” kata Nadi. Setelah selamatan kembali pencarian dilanjutkan.

Berkali-kali bahan peledak digunakan. Hasilnya nihil. Bukannya harta karun, Tim malah menemukan ular besar. Setelah dua minggu Komandan Tim RPKAD habis kesabaran.

Dia marah pada si orang yang mengaku tahu harta karun. Perwira tersebut memerintahkan menghentikan pencarian.

“Ini sia-sia. Bohong, orang ini cuma pembohong. Sudah selesai, kita pulang ke Cijantung,” beber Nadi menceritakan kemarahan komandannya.

Tim RPKAD pulang ke Cijantung dengan tangan kosong dan senyum pahit.


Nasib orang yang berbohong mengaku tahu harta itu tak jelas. Kabarnya dia sempat disel beberapa hari, tetapi kemudian dibebaskan dan tak dipidana.

“Di Cijantung suka diledek. Gimana nih harta karunnya, bagi-bagi dong. Itu puluhan tahun, kalau reuni pensiunan masih saja jadi ledekan,” kata Nadi sambil tertawa.

Mayor Kawilarang pernah temukan harta karun Jepang di Bogor


Namun ternyata, isyu tentang keberadaan harta karun tentara Jepang itu bukan omong kosong. Pasukan TNI pernah menemukannya di daerah Bogor, Jawa Barat.

Kepala Staf Resimen Divisi II TNI pada waktu itu, Mayor Alex Evert Kawilarang, menceritakan penemuan harta itu dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH dan diterbitkan Sinar Harapan.

Sekitar tahun 1946, pasukan TNI anak buah Kawilarang melakukan penggalian di bekas markas Jepang di sekitar Cigombong, Bogor. Mereka mencari senjata yang biasanya disembunyikan tentara Jepang dengan cara dikubur dalam tanah.

Jepang memang belum lama meninggalkan kamp di Cigombong itu. Para prajurit menggali dengan waspada karena selain mengubur senjata, Jepang juga menanam ranjau. Di sebuah gundukan tanah, cangkul para tentara itu mengenai benda keras. Mereka ketakutan karena disangka mengenai bom.

Setelah beberapa saat tak meledak, barulah mereka menggali lagi. Tapi bukannya senjata, para prajurit TNI itu malah menemukan sebuah guci besar.

Alex Evert Kawilarang (lahir di Batavia (kini Jakarta), 23 Februari 1920 – meninggal di Jakarta, 6 Juni 2000 pada umur 80 tahun) adalah salah seorang perwira militer yang termasuk Angkatan ’45 dan mantan anggota KNIL.

Lebih mengejutkan, isi guci itu ternyata penuh emas dan permata yang berkilauan.

Kawilarang kemudian mengutus Letnan Muda Gojali untuk mengawal harta itu. Gojali orang jujur, makan pisang di markas perampok saja ia tak mau, karena menganggap tak halal. Kawilarang lalu mengirim Gojali menyerahkan harta karun itu ke Kementerian Dalam Negeri di Purwokerto.

Gojali melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia menyerahkan harta karun pada Sumarman yang kala itu menjabat Sekretaris Mendagri. Tak jelas bagaimana Kementerian Dalam Negeri kemudian menggunakan harta tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar